Di antara kepungan asap yg membubung di Indonesia, info mengenai beratnya derita perjuangan hidup pengungsi Suriah masihlah mesti konsisten dipantau. Kemanusiaan tidak boleh mengenal kata luput, tidak boleh dilupakan. Ketua Tim SOS Syiria – ACT yg diterjunkan ke Jerman, Hastrini Nawir, kembali mengambil narasi dari Jerman. Usai mengamati dinamika penanganan pengungsi Suriah di Jerman, Beliau memandang penanganan di Jerman relatif baik dibanding pengungsian di negeri yang lain di Eropa.
Fenomena gelombang pengungsian ke Yunani mendorongnya menuju negara kelahiran filsuf Barat & asal mitologi dunia. Di Yunani, tepatnya ke pulau Lesvos. Hastri menjejakkan kakinya, mendengar keluh kesah dari perjuangan berat pengungsi Suriah. Berikut lanjutan kisanya, ditulis di sela panjajakan wilayah distribusi pertolongan kemanusiaan.
Pagi-pagi kepada 6 Oktober 2015, Aku, Kevin (relawan lokal), Yopi (penduduk Indonesia yg tinggal di Jerman) & George (pengemudi), mendarat di bandara Mytilini, pulau Lesvos, Yunani. Dari Athena kami memanfaatkan pesawat mungil – mengingatkan aku penerbangan ketika dari Medan ke Lhokseumawe, ke pulau Lesvos ini. Di sini nyaris sanggup dikatakan tiada transportasi umum. Para visitor umumnya menyewa kendaraan atau naik taksi. Dari bandara kami naik taksi menuju penginapan yg berjarak 10 kilometeran. Di perjalanan kami melintasi pelabuhan Mytilini. Tiap-tiap hri kapal gede di pelabuhan mengantarkan ribuan pengungsi ke Athena buat selanjutnya sanggup menambahkan perjalananya ke utara Eropa, negeri maksud rata-rata Jerman & Swedia.
Di perjalanan, aku perhatikan rombongan pejalan kaki, lumayan tidak sedikit, berarakan. Aku baru sadar sekian banyak kala, mereka para pengungsi Suriah yg terjadi kaki dari ruangan mereka berlabuh ke kamp pengungsian. Mereka terjadi berkilo-kilometer, menurut kabar, mereka berlangsung kadang hingga sekian banyak hri.
Di kamp mereka menjalani proses registrasi buat sanggup dikirim ke Athena dgn kapal dari pelabuhan Mytiline. Sebenarnya ada sekian banyak bus yg disediakan utk mengangkut para pengungsi dari pantai lokasi mereka berlabuh menuju kamp pengungsian, tetapi jumlah bus yg terbatas tak sebanding bersama jumlah pengungsi yg mencapai ribuan tiap-tiap harinya. Sehingga mereka pilih terjadi kaki ketimbang menunggu bus sampai sekian banyak hri lamanya.
Keadaan para pengungsi yg berlangsung kaki, menyedihkan. Mereka bersama sisa tenaganya perlahan menuju kamp utk mendaftar. Kiri-kanan sekian banyak kali bersua penduduk setempat, bakal namun para masyarakat lokal dilarang menunjang mereka. Siapa yg kepergok menopang pengungsi, mereka mampu diringkus polisi. Di Mytilini ini, turis, warga setempat & pun pengungsi, saling berjumpa & saling memandang tidak dengan ada hubungan. Bahkan, antar mereka, tak tahu-menahu satu sama lain, bersibuk diri bersama urusannya. Pengungsian ini jadi ironi di pulau Lesvos, pulau wisata yg tidak sedikit dikunjungi turis.
Walau demikian, pulau ini serta jadi ‘titik transit’ ribuan pengungsi Suriah. Menurut seseorang pengemudi setempat, rata-rata masyarakat Lesvos tak tahu bagaimanakah situasi pengungsi di dalam kamp. Bahkan pengemudi lokal yg aku ajak berbincang tadi, baru perdana kalinya masuk ke kamp pengungsian.
Di Lesvos ada dua kamp : Moria & Kara Tepe. Kara Tepe ditempati para pengungsi Suriah. Rata-rata pengungsi Suriah yg ada di kamp Kara Tepa, orang tajir (mengambil tidak sedikit duit), sedangkan pengungsi yg di Moria lebih memprihatinkan, ga ada duit(awalnya mereka mengambil duit, disimpan dalam tas yg mereka simpan di perahu. Kala perahu mulai sejak sesak, terpaksa banyaknya barang dikeluarkan, termasuk juga tas duit mereka ikut terbuang).
Hri mula-mula di Lesvos, aku ditemani relawan & pengemudi lokal, mengunjungi kamp Kara Tepe. Kami diizinkan masuk dikarenakan ditemani Kevin, dokter yg bergerak ke setiap kamp. “Dia dgn aku,” kata Kevin terhadap Pegawai lokal penjaga migran. Di kamp ini aku mengunjungi tenda UNHCR, di lokasi pengungsi menanti giliran registrasi. Tidak Dengan tengok kiri-kanan, aku main-main motret saja. Tiba-tiba satu orang pengungsi menegur keras, keberatan dipotret. “Hapus seluruhnya foto-foto Kamu,” bentaknya bersama wajah merah-padam sembari tangannya bergerak hendak memperoleh ponsel aku. Aku terperanjat sejenak, dulu serentak menguasai diri & minta maaf. Untung ada George, pengemudi lokal yg menemani aku, maka insiden itu lekas berhenti.
Beruntung, sebelum kejadian itu aku telah bertaaruf dengan cara formal bersama banyaknya pegiat kemanusiaan dari UNHCR, MDM, MSF (Médecins Sans Frontières, Dokter Lintas Batas), sekian banyak relawan dari Norwegia ataupun sebanyak negeri Eropa yg hadir dengan cara personal (tak a/n dinas).
Di kamp yg dikelola UNHCR ini aku mendaftarkan ACT juga sebagai salah satu NGO yg terlibat dalam penanganan pengungsi di Mytilini, & ACT siap terlibat dalam kerja penanganan pengungsi di Mylitini sampai puluhan ribu pengungsi ini mampu berada dalam keadaan kehidupan yg lebih pantas di ruangan yg telah ditentukan oleh kebijakan Uni Eropa. (hastri)
0 Komentar