Akhir thn 2015 ini jadi thn duka bagi Indonesia. Bukan mengenai bencana gempa, bukan berkenaan tragedi longsor terlebih tsunami. Kali ini tragedi bencana alam atau kemungkinan tepatnya bencana sebab ulah manusia tengah menghantam, derita itu berwujud bencana kabut asap.
Kabut asap yaitu imbas tidak baik dari masifnya Kebakaran hutan yg membakar hutan & lahan Indonesia tidak dengan henti. Pengaruh El Nino yg mengambil kemarau panjang semakin memperkeruh kondisi. Hutan di Kalimantan semakin hri justru semakin parah, susahnya memadamkan hutan menciptakan pesimis beraneka ragam pihak. Apabila tidak ada hujan datang, api tidak ingin padam.
Ternyata tidak cocok jikalau dinamakan yang merupakan kebakaran hutan, pasalnya dibalik tragedi kebakaran hutan ini, ada beberapa orang bertabiat busuk yg sengaja membakar lahan demi keperluan pribadi, pelakunya tidak sanggup terlepas dari para perusahaan agung pemilik izin konsesi perkebunan sawit.
Lantas apa pertalian antara kebakaran hutan di Kalimantan bersama budaya penduduk Dayak? Alida Handau Lampe Guyer, tokoh warga Dayak, dikutip dari page Tempo mengisahkan perbedaan mencolok penanganan hutan & lahan ala penduduk dayak dgn ulah perusahaan nakal.
Menurut paparan Alida, tidak sedikit perusahaan gede di Kalimantan yg sempat-sempatnya berlindung di balik adat penduduk suku Dayak yg biasa membakar lahan. Tapi, penduduk Dayak terus dapat mengontrol api yg berkobar.
Gimana kisahnya?
Nyatanya, warga dayak punyai budaya turun-temurun dalam urusan pengolahan lahan, adalah lahan berpindah. Perihal inilah yg setelah itu ditiru & diadaptasikan oleh perusahaan perkebunan akbar di Kalimantan.
Dalam budaya luhur warga Dayak yg hidup akrab bersama lingkungan alami, Suku Dayak terbiasa buat berpindah ladang seterusnya membakar lahan yg telah sempat dihuni. Sesudah lahan bercocok tanam mereka hilang kesuburannya, mereka berpindah mencari area baru & membakar lahan pada awal mulanya. Alasannya ialah hasil bakaran tanah & ranting kering itu beralih jadi humus atau sektor tanah yg subur.
Bedanya antara membakar lahan penduduk dayak dgn perusahaan perkebunan di Kalimantan ialah rata rata warga dayak cuma membakar tidak lebih dari dua hektare lahan, & besaran api juga senantiasa sanggup dikontrol.
Dulu lahan yg telah ditinggalkan & dibakar kebanyakan tidak dapat dihuni atau diserobot oleh penduduk Suku Dayak yang lain. Pasalnya dalam budaya luhur Dayak ada istilah Kaleka, adalah dengan cara turun temurun menjaga konservasi lahan. ga ada yg berani buat menyerobot lahan antara sesama penduduk Dayak.
Sesudah lahan ke-2 habis lagi kesuburannya, warga Dayak dapat kembali ke lahan pada awal mulanya yg telah dibakar, lantaran sesudah dibakar & ditinggal pass lama, sehingga lahan yg perdana dapat subur kembali.
Mampu di lihat betapa arifnya kebudayaan luhur warga kebiasaan di Indonesia yg masihlah menjaga selarasnya pertalian antara alam & kepentingan hidup. Berlainan 180 derajat di bandingkan bersama apa yg dilakukan oleh perusahaan nakal di Kalimantan. Mereka membakar lahan, setelah itu meninggalkan kobaran api demikian saja, maka api merambat ke segala arah. Menciptakan kobaran api yg makin luas & tidak terkontrol.
Setelah Itu, mereka menutup mata kepada apa yg telah mereka melaksanakan. Sekelompok manusia musim saat ini yg serakah & kelihatan tidak beda dgn binatang buas. (cal)
img : voanews
menjaga selarasnya hubungan antara alam dan kebutuhan hidup. Berbeda 180 derajat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh perusahaan nakal di Kalimantan. Mereka membakar lahan, kemudian meninggalkan kobaran api begitu saja, sehingga api merambat ke segala arah. Membuat kobaran api yang semakin luas dan tak terkontrol.
Kemudian, mereka menutup mata terhadap apa yang sudah mereka lakukan. Sekelompok manusia masa kini yang serakah dan nampak tak beda dengan binatang buas. (cal)
img : voanews
0 Komentar