Muramnya Pendidikan di Perbatasan Negeri Ini

20.41
100-Pulau-Tepian-Negeri
Sejak beberapa tahun terakhir, kisah tentang muramnya pendidikan di tepian negeri, wilayah perbatasan republik Indonesia selalu mengundang duka. Terbatasnya sarana pendidikan yang layak serta persediaan guru pengajar yang nihil sama sekali telah merengut hak-hak pendidikan dasar bagi anak-anak tepian negeri. Jika gerakan Indonesia Mengajar yang dibesut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berhasil menginisiasi gerakan kerelawanan menjadi pengajar di daerah-daerah, kini ada pula gerakan baru yang mengambil tajuk “Penddidikan Tepian Negeri”, kali ini fokusnya adalah menyusun batako demi batako, untuk mewujudkan sarana sekolah yang layak bagi anak perbatasan negeri.

Rangkaian kisah epik yang merekam muramnya pendidikan di perbatasan negeri. Dengan semangat kemanusiaan, gerakan yang dimotori oleh Aksi Cepat Tanggap ini satu persatu mulai membangun sarana yang layak bagi akses pendidikan anak-anak perbatasan. Satu kisah muram yang berhasil terekam datang dari Pulau Kabetan, Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah.

100-Pulau-Tepian-Negeri-4

Hari itu, haluan perahu ketinting berayun-ayun lambat mengikuti debur ombak yang senyap namun beriak. Suara motor di buritan nampak berderum keras. Seperti tak kuasa memaksa perahu melaju cepat membelah ombak lautan Celebes. Kali ini, perahu tidak mengangkut manusia. Sejak pertengahan pekan lalu perahu mengangkut material bangunan menuju Dusun III Bumbungan, Kecamatan Ogodiede, Pulau Kabetan, Toli Toli – Sulawesi Tengah. Di hari Jum’at (23/10) ini perahu mengangkut ratusan batako.

Material-material bangunan itu menyeberang lautan untuk menjadi bahan dasar bagi pembangunan Sekolah Cerah Hati – Tepian Negeri Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Dusun III Bumbungan, Kabetan. Bangunan sekolah yang baru, rencananya akan terdiri dari dua ruang kelas berukuran 8×7 meter  dan akan dimanfaatkan 30 siswa dari kelas satu sampai kelas lima.

100-Pulau-Tepian-Negeri-6
Kapal motor kecil itu hanya bisa mengangkut maksimum dua ton beban agar tak tenggelam di lautan. Sialnya, hanya dengan alat transportasi itulah kami berulang-ulang , bolak-balik, mengangkuti semua material yang dibutuhkan untuk membangun sekolah di pulau –pulau pinggiran dan tepian negeri. Jangan lagi bicara ongkos angkut. Ini bukan kali pertama kami membangun fasilitas sosial dan umum di pulau tepian negeri. Sebelum membangun Sekolah Cerah Hati di Dusun III Bumbungan, ini kami sudah membangun sekolah yang jauh lebih besar di Pulau Pura , Kabupaten Alor , NTT. Untuk satu kali perjalanan mengangkut beban, sedikitnya harus keluar biaya  Rp. 300.000. Itu untuk beban minimal dengan jarak dekat , dari pulau terdekat saja. Maka bisa dibayangkan, berapa jadinya harga batu bata, batako, pasir bahkan batu kali saat tiba di lokasi pembangunan.

Mengapa tak mengajak serta sumber daya masyarakat setempat?

Bukan tak ada keinginan untuk menggerakkan masyarakat, Masalahnya, lokasi perbatasan negeri selalu identik dengan daerah miskin. Masyarakat Pulau Kabetan hanya hidup dari menangkap ikan atau jadi buruh di kebun kebun milik orang kota. Berlebihan sekali kalau kita berharap mereka punya kapal besar yang mampu mengangkut berton-ton barang mengarungi gelombang lautan.

Bagaimana dengan harga? Harga material pun sesunghuhnya tak murah di daerah terdekat yang menyediakan. Jangan coba –coba membandingkan dengan harga di Jawa bila tak ingin asma Anda kumat. Tempat berbelanja , biasanya adalah kota kabupaten atau kecamatan terdekat yang seluruh pasokan barangnya dari Jawa. Biaya transportasi pula yang mereka jadikan alasan untuk menjual barang-barang dengan harga lebih tinggi.

100-Pulau-Tepian-Negeri-2

Untuk sebuah batako, dari pembuatnya yang berada di kecamatan Nalu, sebuah kecamatan di pinggiran Toli Toli, setelah ditawar kami dapatkan harga Rp. 2800 per buah. Berat per buah sekitar 7 kilogram.  Untuk mencapai nilai 2 ton, hanya diperlukan 286 batako. Angka itulah jumlah batako yang bisa diangkut kapal motor dari Nalu ke Dusun Bumbung di Pulau Kabetan sana. Dengan demikian, saat tiba di Bumbung, sebuah batako bernilai sekitar Rp 4,550 perbuah.

Itu baru Batako, satu dari sekian banyak material yang dibutuhkan untuk membangun sebuah gedung. Masih ada semen yang dikemas dalam sak dengan berat 50 kg, besi beton, atap seng, triplek, bahkan kayu yang juga akan melambung harganya akibat mahalnya biaya transportasi.


Mengapa tak menggunakan kapal yang lebih besar? Pasti kapasitasnya lebih besar dan biayanya jauh lebih murah. Setuju, kapal besar memang  bisa mengangkut lebih banyak, dan mungkin juga bisa lebih murah. Tapi, mau sewa dimana?  Lalu, dimana kapal akan merapat, karena kawasan ini biasanya juga dangkal perairannya. Untuk memuat batako serta bahan bangunan lain saja, masih dibutuhkan perahu kecil untuk mengangkutnya dari daratan ke perahu motor yang terpaksa buang sauh agak di tengah. Bila dipaksakan, setelah dimuati beban kapal takkan bisa bergeraak karena kandas!

Tapi , ini semua tentu tak cukup bisa dijadikan alasan untuk berhenti membangun tepian negeri. Bila untuk membangunnya dibutuhkan biaya besar, jadi tugas kita merogoh saku lebih dalam untuk mewujudkan mimpi anak-anak kita di tepian negeri itu. Mimpi mendapat pendidikan yang layak, dan memupuk cita-citanya lebih tinggi lagi. (yus)
Previous
Next Post »
0 Komentar