Sabtu, (30/5) lalu Ibukota Jepang, Tokyo diguncang oleh gempa besar yang sempat menghentikan sementara aktivitas ekonomi di Kota Super Metropolitan itu. Gempa tercatat oleh seismograf terjadi di dekat pulau terpencil Jepang, berkekuatan dahsyat 8.5 skala richter. Namun titik episentrumnya berada sangat jauh di bawah permukaan bumi. Akibatnya, energi getaran yang membuncah ke permukaan Jepang tak sempat membangunkan alarm penanda bahaya bencana tsunami.
Lokasi pelepasan energi gempa 8.5 skala richter tersebut berada di Pulau Ogasawara, dengan kedalaman yang jauh 590 km di bawah permukaan bumi. Walaupun berada jauh di dasar, namun guncangan yang dihasilkan mampu menjalar hingga jauh ke Hokkaido di Utara Jepang, dan menggoyangkan gedung di Tokyo, 1000 km jauhnya dari Pulau Ogasawara.
Jepang, negeri dengan potensi bencana gempa terbesar di dunia. Wilayah Jepang yang terdiri dari kepulauan-kepulauan sejatinya adalah gugusan pulau yang terbentuk oleh aktivitas seismik selama jutaan tahun. Hasil tingkah pola tiga lempeng besar bumi, yaitu lempeng Pasifik si sebelah timur, lempeng Filipina di sebelah selatan, dan lempeng besar Eurasian di barat.
Tiga lempeng ini pada dasarnya terus bergerak di bawah permukaan negeri Jepang, namun gerakan perlahan ini terkadang mengunci dan menyimpan energi besar di antara patahan-patahan yang melintang.
Sehari setelahnya, Minggu pagi (31/5) pelepasan energi ke permukaan menjadi gempa bumi kembali terjadi dengan kekuatan guncangan 6.4 skala richter. Titik lokasi pelepasan energi berada tak jauh dari PulauOgasawara. Namun kali ini episentrum berada dalam posisi dangkal, tak lebih dari 6.4 skala richter.Berdasar pada dua kejadian tersebut, makin menjadi bukti jelas betapa bencana gempa bumi di Jepang memang begitu mengancam. Bahkan beberapa Seismolog Jepang memberikan peringatan awal bahwa dua gempa berkekuatan sedang hingga besar yang terjadi di penghujung Mei kemarin menjadi bukti bahwa lapisan lempeng bumi di bawah permukaan Jepang sedang dalam fase pelepasan energi yang akan berujung masif.
Walaupun kenyataannya masyarakat Jepang hidup dan menghidupi di atas tanah yang sangat berpotensi timbulnya gempa dahsyat, namun masyarakat Jepang mungkin dapat dikatakan sudah berada dalam status komunitas atau masyarakat yang paling siap dalam menghadapi bencana.
Terakhir, gempa bumi dahsyat di pertengahan tahun 2011 menjadi pelepasan energi dahsyat di Jepang setelah gempa Kobe tahun 1995, dan gempa lampau Tokyo tahun 1923.
Prediksi gempa besar yang dijuluki “Big One” nyatanya bukan menjadi peringatan sepele. Beberapa hari usai pelepasan energi di Ogasawara, gunung berapi Shindake pun mengeluarkan letusannya secara tiba-tiba. Tanda lain bahwa memang beberapa patahan di Jepang sudah dalam kondisi jenuh dan dapat patah atau retak di esok, lusa, atau kapanpun di masa depan.
Mitigasi dan kesiapsiagaan Jepang berada dalam tiap kebiasaan, budaya, dan mungkin gerak langkah masyarakatnya. Struktur bangunan rumah dan gedung tinggi di Tokyo dan kota-kota besar lain pun sudah memiliki rancang bangun yang aman terhadap guncangan besar sekalipun. Kini, nyatanya Jepang memang berada dalam bayang-bayang “Big One”, namun kesiapagaan masyarakatnya setidaknya mampu mengurangi risiko gempa bumi hingga titik paling minimum. (ijal)Sumber
0 Komentar