Hingar bingar drama krisis kemanusiaan yang menyertakan kisah pilu dari rombongan ribuan etnis Rohingya yang terdampar di wilayah Kota Langsa, Aceh masih berlangsung hingga sekarang ini. Bantuan kemanusiaan tetap mengalir tanpa henti dari beragam Instansi kemanusiaan lokal maupun internasional, termasuk juga serta salah satunya yakni Tindakan Serta-merta Tanggap.
Etnis rohingya yang menyesak di tenda pengungsian di Kota Langsa sesungguhnya hanya sebagian kecil dari ribuan kisah pilu etnis Rohingya yang terusir dari tanah kelahiran mereka di Provisi Rakhine, Myanmar.
Sejak puluhan tahun lalu, kisah mengenaskan yang dialami etnis Rohingya konsisten menjadi kisah kelam bagi histori krisis kemanusiaan manusia modern. Mereka terusir dari tanah kelahiran sendiri, dicampakkan, tak diakui, tak dimanusiakan seharusnya umat manusia oleh pemerintah negerinya sendiri, Myanmar.
Kisah kelam tentang diskriminasi dan kekerasan imigran Rohingya selama bertahun-tahun di Myanmar dikala ini kembali muncul dalam tataran tertinggi perbincangan warga dunia. Tapi rupanya ada tidak sedikit yang belum mengetahui secara jelas, permasalahan apa yang sebetulnya sedang melanda puluhan ribu etnis minoritias di Rohingya.
banyak pakar menilai bahwa, pilihan ekstrem yang terpaksa dijalankan oleh ribuan Rohingya untuk eksodus besar-besaran dari tanah kelahiran mereka di Rakhine terkecuali didasari oleh motif konflik dan pelanggaran HAM semata, tetapi serta faktor kesulitan pekerjaan dan ekonomi.
Untuk diketahui, Rakhine yg ialah tanah kelahiran etnis Rohingya selama beberapa generasi yakni wilayah paling miskin ke dua di dalam kawasan negara-negara ASEAN. Nyatanya, baik etnis minortitas Rohingya yang beragama Islam dan etnis mayoritas Myanmar yang beragama buddha sama-sama dalam kondisi kemiskinan atut.
Kenyataan ini pun diyakini oleh Perwakilan Badan Pengungsi PBB di Indonesia, Thomas Vargas, seperti yang dikutip dari laman CNN. Vargas meyakinkan bahwa Rohingya melarikan diri dari Myanmar bukan hanya karena kekerasan dan penindasan yang tak berujung, tetapi serta sebab memimpikan penghidupan yang lebih baik di negara tetangga.
Di tengah konflik yang mendelik, Kondisi Rohingya di Myanmar yang tak bersama kewargenaraan dan tak bersama pekerjaan jelas adalah pemicu paling logis atas pilihan mereka buat nekat mengayuh lautan dan menembus hutan dalam jeratan penyelundup manusia. Indonesia dan Malaysia merupakan tanah mimpi mereka
Terkait kemiskinan yang jadi satu pemicu eksodus besar-besara Rohingya, beragam populasi di ASEAN dituntut buat meringankan menciptakan iklim ekonomi yang bertumbuh di Rakhine.
Elemen ini semakin dimungkinkan mengingat bantuan yang dikucurkan Dinas internasional utk Rohingya sudah menembus angka puluhan juta dollar. Sumbangan se gede itu bakal amat sangat berguna jikalau dapat mencetak peluang ekonomi yang tumbuh dan menjanjikan bagi Rohingya dan etnis masyarakat Rakhine yg lain. Bentuknya akan semacam Rakhine Develpoment Fund. Dapat diperlukan untuk membentuk, mengubah, dan mencari sumber daya yang sanggup diolah oleh ribuan pendudu Rakhine yang hingga kini masih terjebak konflik kejam.
Namun, permasalahan ekonomi Rohingya tetap tak dapat berhenti begitu saja. Bentuk program semacam Rakhine Development Fund tak akan bisa berlangsung bila Myanmar masih tidak akan terhubung diri dan mengakui Rohingya.
Runtutan masalahnya dapat selesai satu persatu kalau Myanmar mau dan tanggap dalam menyelesaikan isu diskriminasi dan memberikan status kewarganegaraan yang jelas kepada etnis Rohingya, sehingga kemudian publik internasional pun perlahan akan masuk mengambi bagian untuk memberikan dana bantuan. (CAL)
0 Komentar