Etnis rohingya yang menyesak di tenda pengungsian di Kota Langsa sesungguhnya hanya sebagian kecil dari ribuan kisah pilu etnis Rohingya yang terusir dari tanah kelahiran mereka di Provisi Rakhine, Myanmar.
Sejak puluhan tahun dahulu, kisah mengenaskan yang dialami etnis Rohingya terus menjadi kisah kelam bagi peristiwa krisis kemanusiaan manusia modern. Mereka terusir dari tanah kelahiran sendiri, dicampakkan, tak diakui, tak dimanusiakan harusnya umat manusia oleh pemerintah negerinya sendiri, Myanmar.
Namun di bulan Juni ini, atas desakan bermacam macam pihak yang beram bakal permasalah krisis pengungsian Rohingya , pemerintah Myanmar kembali membuka sanggup menjadi proses kewarganegaraan bagi orang-orang yang sejak lama tak memiliki kewargenegaraan Myanmar, termasuk juga pun etnis Rohingya.
Namun ternyata proses itu tetap saja diskriminatif, penduduk Rohingya diwajibkan utk tidak menggunakan lagi nama Rohingya sebagai identitas mereka. Juga Sebagai gantinya, pemerintah Myanmar memaksa mereka untuk menyebut diri mereka sebagai orang Bengali yang merujuk pada etnis dari Bangladesh.
Lantas, apa sesungguhnya beda antara etnis Rohingya dan etnis Bengali? Menarik untuk dipandang lebih jauh dan lebih dalam apa yang menyebabkan pemerintah Myanmar tetap tak mau mengakui Rohingya dan menetapkan identitas mereka yg adalah etnis Bengali yang terbuang dari Bangladesh.
Ditarik dari kisah sejarahnya, sesungguhnya Rohingya yaitu masyarakat Muslim minoritas yang sebagian gede menetap di negara bidang Arakan, Myanmar, dekat batas negara Bangladesh sejak abad 15 lampau. Etnis Rohingya sanggup disebut yg yakni penduduk Muslim perdana yang menginjakkan kakinya di tanah Myanmar kira kira tahun 1430 silam. Raja Narameikhla, penguasa Arakan saat itu mempersilahkan masyarakat muslim keturunan Bangladesh untuk bermigrasi ke Arakan dan menjadi bidang dari warga kerajaan Arakan.
Hingga di akhir 1785, Arakan menjadi wilayah taklukan warga Burma yang beragama Budha dan mengusir seluruh etnis Rohingya dari tanah Arakan. 35 ribu penduduk Arakan terpaksa melarikan diri ke Bengali, sektor dari wilayah koloni Inggris.
Hingga di th 1826, pemerintah Kolonial Inggris mengambil alih Arakan dan menganjurkan para petani dari Bengali buat pindah ke daerah Arakan yang ketika itu belum banyak dihuni penduduk. Proses imigrasi petani Bengal ke wilayah Arakan yang berlangsung tiba-tiba inilah yang memicu reaksi keras dari mayoritas masyarakat Budha Rakhine yang tinggal di Arakan kala itu. Diperkirakan inilah benih pemicu kerusuhan antar etnis dan agama yang berjalan hingga waktu ini.
Setelah akhir Perang Dunia II, etnis Rohingya konsisten mendiami Arakan dan ingin mencetak negara sendiri di Arakan. Seketika Junta Militer Myanmar yang mengambil alih negara ketika itu menolak keras kelompok separatis di Arakan. Junta Militer dengan tegas menolak memberi kewarganegaraan Myanmar kepada masyarakat Rohingya dan menetapkan mereka yang merupakan warga asal Bengali yang tak punya hak atas tanah Arakan dan tak memiliki kewarganegaraan.
Sejak thn 70’an hingga kini, terdapat kira kira 800 ribu etnis minoritas Rohingya yang tinggal di 140 ribu tenda pengungsian sepanjang tanah Arakan. Mereka mengalami penganiayaan kejam, pemerkosaan memilukan, dan bencana kelaparan akibat tak mendapat hak atas pekerjaan, pendidikan, dan akses publik oleh pemerintah Myanmar. Ditambah pun perlakuan kejam Biksu Buddha radikal yang meneriakkan propaganda anti muslim dan membantai ratusan warga muslim Rohingya di Rakhine.
Begitulah sekelumit kisah kelam yang mengawali perjalanan panjang etnis paling tertindas di dunia. Rohingya bukanlah Bengali. Rohingya telah meletakkan histori panjang etnisnya sbg minoritas muslim sejak berabad lalu di tanah Rakhine.(CAL)
Sumber
0 Komentar