Mengapa Aceh Sambut Rohingya dengan Penuh Kehangatan?
Sehari menjelang terbenamnya mentari senja terakhir di bulan Syaban, jutaan muslim Indonesia siap menyambut malam perdana ramadhan bersama penuh sukacita. Begitu juga yang dirasakan oleh hampir dua ribu jiwa pengungsi Rohingya yang tersebar di sebagian pesisir Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Sebulan sudah mereka menetap di tanah negeri Aceh Darussalam. Sekarang Ini, usai diselematkan oleh nelayan lokal di pesisir Aceh Utara, setidaknya nasib mereka sedikit lebih baik daripada harus terkatung di tengah samudera luas, lebih-lebih jika membayangkan penyiksaan, penindasan, dan kemiskinan yang tak berujung di tanah kelahiran mereka Rakhine, Myanmar.
Perjuangan mereka mencapai daratan Bumi Darussalam Aceh tak bakal dibilang mudah, mereka harus membayar sejumlah uang terhadap para penyelundup manusia, supaya dapat diboyong ke luar dari Rakhine dgn trick tidak dengan izin, mengarungi Teluk Bengal, menyusuri hutan belantara di perbatasan Thailand-Malaysia, hingga akhirnya mereka ditebus kembali bersama ribuan ringgit atau banyaknya dolar oleh keluarga mereka di Malaysia.
Sebagian besar imigran ilegal Rohingya yang bernasib lain, ditolak untuk merapat ke pesisir oleh Petugas keamanan di Thailand, selagi berbulan-bulan mereka terkatung di samudera luas Laut Andaman, ditinggal begitu saja oleh nelayan pengemudi kapal, kehabisan makanan dan bahan bakar. Hingga akhirnya hampir dua ribu imigran Rohingya itu terdampar dan diselamatkan oleh penangkap ikan lokal Aceh.
Sambutan hangat dan penuh penerimaan dari warga Aceh kemudian meluas menjadi perhatian dunia. Beragam sarana nasional dan internasional kembali membincangkan Rohingya pula sbg isu kemanusiaan yang panas, isu kemanusiaan yang belum ada solusinya sejak dekade lalu hingga saat ini.
Setelah melalui penolakan macam-macam penolakan dari komune ASEAN, pengungsi krisis kemanusiaan Rohingya itu mendapat perlakuan tak sama di Aceh. Alih-alih dicampakkan, justru mereka dianggap sebagai tamu spesial sesama saudara muslim, mereka diterima dengan amat sangat amat sangat baik oleh masyarakat Aceh. Aceh pula kembali mendunia, kali ini bukan sebab kepedihan bencana seperti Aceh pasca tsunami satu dekade dahulu, tapi Aceh juga sebagai bentuk kolaborasi masyarakat kemanusiaan.
Tak Sedikit pihak memprediksi bahwa warga Aceh beranggapan Rohingya juga sebagai saudara senasib dalam kisah penderitaan. Seperti yang didapati, masyarakat Aceh telah kenyang mengalami konflik dan kepedihan serupa setelah kisah teror lama antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia sekian tidak sedikit dekade dahulu. Kemudian kisah konflik kelam itu ditutup oleh tragedi memilukan bencana tsunami dahsyat di thn 2004.
Periode lalu warga Aceh ternyata memang mengalami kepedihan serupa dengan Rohingya. Maka dari itu, mereka telah mengerti dgn kiat apa kepedihan yang dirasakan oleh seribu tujuh ratus lebih pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh.
“Saya merasakan mereka (Rohingya) yaitu bidang dari keluarga, bagian dari masyarakat muslim Aceh. Karena kami pun telah mengalami tak sedikit kepedihan serupa dengan mereka ketika konflik GAM dan tsunami lalu, lebih baik saudara Rohingya tetap tinggal permanen di Aceh,” ungkap Nuryanah, salah satu orang masyarakat Aceh Utara seperti yang dikutip dari laman Irinnews.
Sambutan hangat dari masyarakat Aceh itu serta menjadi pemicu aktivitas serupa buat memperjuangkan hak-hak hidup orang-orang Rohingya yang konsisten tertindas baik di Malaysia, Thailand, ataupun di tanah kelahiran mereka Rakhine. Waktu Ini kolaborasi kemanusiaan nasional pun telah mulai bersatu padu dengan penduduk Aceh utk menjamu dan memberikan layanan terbaik bagi ribuan orang Rohingya di Aceh. (ijl)
Sumber
0 Komentar