Ini cerita menyangkut kemanusiaan. Kisah tentang letupan emosi yang tersaji antara relawan dan anak-anak polos pengungsi Rohingya. Semua berawal sebulan lalu, waktu hampir dua ribu pengungsi Rohingya terdampar di Kuala Langsa dan Aceh Utara. terkecuali berisi perempuan dan lak-laki dewasa, kapal sarat pengungsi kepayahan yang sudah terkatung berbulan-bulan di lautan itu serta terselip puluhan hingga ratusan anak kecil.
Berikut petikan cerita penuh emosi dari catatan harian satu orang Relawan Pendamping Anak dari Perbuatan Serta-merta Tanggap :
Tersebutlah salah satu anak pengungsi Rohingya. Laki-laki. Perkiraan umurnya belum lagi 6 thn. Jujur saja, dalam ingatan pribadi, anak laki laki satu ini salah satu yang lumayan atraktif. Rawan sekali memancing emosi. Ada saja tingkahnya yang memicu teriakan histeris relawan. Well, saya salah satunya yang paling sering histeris bilang “Noo..!”.
Hanya itu yang dapat saya katakan sebab terbatasnya komunikasi kami. Mereka hanya dapat berbahasa Burma, sementara kami hanya sedikit menguasai bahasa Inggris. Jadinya cuma sanggup pasrah dan bilang “No” setiap kali mengingatkan anak-anak malang itu laksanakan sesuatu yang kurang pas.
Hanya itu yang dapat saya katakan sebab terbatasnya komunikasi kami. Mereka hanya dapat berbahasa Burma, sementara kami hanya sedikit menguasai bahasa Inggris. Jadinya cuma sanggup pasrah dan bilang “No” setiap kali mengingatkan anak-anak malang itu laksanakan sesuatu yang kurang pas.
dan anak cowok itu, salah satu yang seandainya mendengar “No” akan mogok; menyaksikan ke arah kita, bergeser atau menjauh jika didekati, lalu bakal berlari sambil tertawa-tawa. Seperti ingin menyampaikan, betapa senangnya dirinya menang dan berhasil melaksanakan perihal yang disukainya, tetapi mengusik kami. Tak Jarang sekali begitu.
Teriakan “sarama” yang berulangkali terucap dari bibir anak-anak itu kepada kami, kala itu serasa amat sangat istimewa bagi kami
Ada satu anak yang kembali meneriakkan “sarama”. Ia sesudah itu menyongsong kami masuk. Ada ragu ketika melihat anak laki laki itu berlari kencang ke arah saya. Batin saya, mungkin bukan saya yang mau didekatinya. Bisa Saja Saja Sarama Moda atau Noni. Namun ternyata tidak. Ia mendekati saya.
Dia terlihat sumringah sekali. Berulang kali juga mengatakan pada ibunya, pengungsi yang lain, serta rekan-rekan kecilnya jikalau ada “Sarama Namas” di ruangannya.
Di saat yang sama, ternyata Sarama Noni dan Moda serta diperebutkan anak-anak. Diajak salat dan dikenalkan ke ibu mereka masing-masing.
Jujur, sulit untuk tidak tersentuh merasakan perlakuan ini. Anak-anak itu, mereka selalu histeris menyaksikan para sarama dan mamu. Sarama itu artinya guru perempuan. Mamu, paman artinya. Terlepas dari bagaimanapun kondisi sekarang, kami terkhusus para relawan perempuan selalu merasa ada keterkaitan emosi yang kuat dengan anak anak itu.
Maka tak peduli bahkan walaupun dibatasi utk bertemu, waktu akhirnya bertemu, masing-masing kami dan anak-anak itu punya chemistry sendiri. Sebuah ‘senyawa’ emosi yang selalu bisa mengikat dan menjadi alasan untuk selalu saling histeris dikala bertemu. (CAL)
0 Komentar