Satu bulan terakhir, pemberitaan jumlahnya headline sarana nasional maupun internasional ramai oleh artikel yang menyentuh nurani. Mengenai perjuangan anak manusia etnis Rohingya dalam mengarungi laut tatkala berbulan-bulan sejauh ribuan kilometer, menyelamatkan jiwa, mencari pertolongan dan belas kasih dari negara tetangga disekitar Myanmar. Mereka terusir dari tanah Rakhine, dekat perbatasan Myanmar dan Bangladesh di sudut timur perairan Indonesia. Rakhine ialah satu negara bidang di Myanmar, area kamp-kamp konsentrasi etnis mereka selama ini berteduh. Penindasan etnis Rohingya menjadi bentuk bencana sosial yang paling menyita perhatian kini.
Lantas apa sesungguhnya yang menjadi penyebab konflik etnis Rohingnya ini melaju berkepanjangan?
1. Diskriminasi tak bersama henti
Rohingya, yaitu sekelompok etnis muslim yang sudah sejak lama resmi tak memiliki tanah lokasi bermukim. Rohingya tak diakui di kebangsaan manapun. Mereka sejatinya tak dianggap oleh pemerintah Myanmar sudah sejak dekade dahulu. Berdasar catatan dan pengakuan mereka, etnis Rohingya mengaku sebagai keturunan dari para pedagang arab yang telah mendiami tanah kelahirannya di Rakhine tatkala sekian tidak sedikit generasi. Mereka pula tersebar di Bangladesh, Saudi Arabia, dan Pakistan.
Rohingya, yaitu sekelompok etnis muslim yang sudah sejak lama resmi tak memiliki tanah lokasi bermukim. Rohingya tak diakui di kebangsaan manapun. Mereka sejatinya tak dianggap oleh pemerintah Myanmar sudah sejak dekade dahulu. Berdasar catatan dan pengakuan mereka, etnis Rohingya mengaku sebagai keturunan dari para pedagang arab yang telah mendiami tanah kelahirannya di Rakhine tatkala sekian tidak sedikit generasi. Mereka pula tersebar di Bangladesh, Saudi Arabia, dan Pakistan.
Tetapi nyata-nyatanya, pemerintah Myanmar menegaskan bahwa mereka sesungguhnya adalah imigran dari Bengali. Di Myanmar mereka diklasifikasikan yang merupakan tenaga kasar, tak memiliki hak terhadap tanah dan lokasi tinggal, dan amat sangat dibatasi lokasi geraknya. Terhitung sejak 4 dekade dahulu, pemerintah Myanmar telah mengeluarkan undang-undang utk menekan Rohingya keluar dari Myanmar. Sejak ketika itu, pergerakan mereka betul-betul diawasi dan dibatasi.
Penindasan pada etnis Rohingya semakin menjadi sejak gerakan pembaharuan dikenalkan oleh Presiden Thein Sein kepada 2011. sekitar Juni hingga Oktober 2012 menjadi momen duka bagi etnis Rohingya diwaktu penyerangan kepada etnis mereka di negara sektor Rakhine makin masif terjadi. Setidaknya 200 orang etnis Rohingya tewas akibat kerusuhan 2012.
Sikap diskriminasi yang digencarkan Pemerintah Myanmar terhadap Rohingya menjadi bencana sosial tak berkesudahan. Lantaran keberadaan Rohingya tak diakui, mereka pun kehilangan tak sedikit hak dasar yang merupakan masyarakat negara. Mereka tak bisa merasakan hak atas kepemilikan tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan, bahkan utk menikah juga mereka dipersulit izinnya. Setelah menikah mereka tak diperbolehkan memiliki anak lebih dari dua orang. ga ada kartu kelahiran, tidak ada kartu keluarga, apaagi paspor.
2. Penarikan Kartu Putih
Faktor terakhir yang menjadi pemicu utama migrasi besar-besaran etnis Rohingya keluar dari tanah kelahirannya adalah karena Pemerintah Myanmar menarik “kartu putih”. sebuah kartu yg ialah identitas resmi satu-satunya yang dimiliki oleh Rohingya. Terhitung sejak 31 Maret 2015 dahulu Kartu Putih milik etnis Rohingya tak dinyatakan tidak berlaku lagi.
Faktor terakhir yang menjadi pemicu utama migrasi besar-besaran etnis Rohingya keluar dari tanah kelahirannya adalah karena Pemerintah Myanmar menarik “kartu putih”. sebuah kartu yg ialah identitas resmi satu-satunya yang dimiliki oleh Rohingya. Terhitung sejak 31 Maret 2015 dahulu Kartu Putih milik etnis Rohingya tak dinyatakan tidak berlaku lagi.
Utk diketahui, kartu putih merupakan kartu identitas yang diberikan Pemerintah Myanmar bagi sekian banyak orang yang tinggal di Myanmar tetapi tidak meraih status resmi sebagai penduduk, masyarakat asosiasi, penduduk netral, ataupun penduduk negara asing. Intinya, kartu putih bukanlah identitas bagi mereka masyarakat negara Myanmar ataupun warga negara asing.
Ditariknya kartu putih dari pengakuan hak masyarakat negara Myanmar, berarti orang-orang Rohingya tak mempunyai wewenang untuk mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu). Mereka pun semakin termarjinalisasi, makin tersudutkan dalam lingkaran komunal mayoritas Buddhis di Myanmar. Ekonomi mereka tak sanggup dibayangkan lagi bagaimanakah kusutnya, tak bersama pekerjaan dan tak bersama harta sama sekali. Kenyataannya benar-benar lah menunjukkan bahwa Rakhine sbg titik kemiskinan akbar di Myanmar mudah tersulut api kemarahan karena sensitivitas egoisme dapat muncul seketika dari hal-hal yang berhulu terhadap kemiskinan.(CAL)
0 Komentar