Jumlah perempuan dan anak-anak yang mengharap iba di Aceh setidaknya mendapat nasib sedikit lebih baik ketimbang perempuan dan anak-anak yang berada di kamp pengungsian Thailand dan Malaysia.
Laporan yang diturunkan oleh Portal The Express Tribune pada 2 Juni lalu menceritakan bahwa setiap harinya, para perempuan muslim etnis Rohingya yang terjebak di kamp penampungan perdagangan manusia sepanjang lintas batas Thailand dan Malaysia menjadi sasaran utama pemerkosaan dan kejahatan moral lain.
Menyebut etnis Rohingya, pasti langsung terbayang dalam imaji sosok Laki-laki berkulit hitam, berwajah khas etnis Bangladesh yang mengharap iba. Kenyataannya, Populasi ribuan etnis Rohingya yang berlayar ribuan kilometer di tengah Samudera dan kini terdampar di Aceh dan Kuala Lumpur tak hanya Laki-laki dewasa saja. Di Aceh misalnya, tercatat di kamp pengungsian Kota Langsa, jumlah anak-anak pengungsi mencapai 63 orang dan 76 orang perempuan, seperti data yang dilansir oleh laman Kompas.
Sebulan terakhir, publik negeri ini ramai membicarakan seputar etnis Rohingya, membayangkan bagaimana perjuangan “Manusia Perahu” melintasi Samudera, terombang ambing dalam ganasnya getaran ombak, berlayar tak tentu arah. Pelayaran menyabung nyawa demi satu tujuan: melarikan diri dari kenyataan cengkraman Myanmar menuju tanah Malaysia atau Thailand, atau Malaysia. Mencari harapan kemanusiaan dari ragam komunitas masyarakat Asean lain.
Seorang etnis Rohingya yang berhasil melarikan diri dari kamp di perbatasan Thailand dan Malaysia bercerita kepada media bahwa para penjaga kamp perempuan Rohingya setiap malamnya yang memilih perempuan-perempuan muda dan cantik untuk diseret ke tempat rahasia. Di tempat tersebut, perempuan Rohingya diperkosa oleh penjaga beramai-ramai.
Kisah pilu di kamp Thailand dan Malaysia setidaknya memang tak sampai terjadi pada puluhan perempuan dan anak-anak yang terdampar di Aceh. Namun, masa depan para perempuan dan anak-anak etnis Rohingya tetap saja berada dalam bayang-bayang pelecehan sebagai etnis terbuang dan marjinalitas tak berbatas.
Kebanyakan perempuan yang nekat melintas samudera bersama anak-anaknya menuju Malaysia dan Aceh adalah para perempuan yang kehilangan suami dan saudara laki-lakinya dalam konflik di Rakhine. Adapula kisah para perempuan Rohingya yang memberanikan diri menyabung nyawa keluar dari Rakhine hanya untuk menemui saudara laki-laki, ayah, suami, atau anak laki-lakinya yang bekerja menjadi buruh kasar di Malaysia.
Penderitaan yang mengoyak rasa kemanusiaan manusia normal sepertinya memang sudah berhenti bagi para perempuan dan anak-anak Rohingnya yang diselamatkan oleh komunitas masyarakat Aceh. Namun, kenyataannya itu hanya sementara, pemerintah Indonesia hanya bersedia menampung ribuan pengungsi Rohingya hingga batas akhir satu tahun ke depan. Kondisi tanpa pendidikan, tak punya legalitas kewarganegaraan sama sekali, dan tanpa pelindung laki-laki dewasa bagi para perempuan Rohingya dan anak-anak mungkin sama saja dengan bunuh diri secara perlahan. Mereka sulit untuk mandiri jika hingga satu tahun ke depan tak ada komunitas yang mau menerima mereka sebagai warga negara tetap.
Entah harus dengan cara seperti apa krisis kemanusiaan Rohingya dapat tuntas berakhir. Solusi jangka panjang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pekerja kemanusiaan dan seluruh Komunitas Masyarakat Asean untuk memikirikan status dan masa depan para etnis Rohingya, terlebih bagi para perempuan dan anak-anak. (ijal)
Sumber
0 Komentar