Indonesia negeri bencana. Tak bakal dipungkiri bahwa negeri ini memang lah berada dalam risiko bencana yang berjajar dari ujung barat negeri hingga ujung timur di sela sudut-sudut tebing curam tanah Papua. Setiap tahunnya, bencana alam yang berubah menjadi tragedi tak luput menyapa. Memberikan peringatan nyata bagi segenap masyarakat Indonesia.
Banjir, longsor, gempabumi, gunung meletus, hingga bencana konflik sosial merupakan tragedi yang mau tak mau, menyukai tak gemar terus tetap mengintimidasi di antara derap langkah di tanah Indonesia.
Waktu bencana datang menjelang, sekian banyak masyarakat yang berada dalam radius bahaya bakal bergegas buat diselamatkan atau menyelamatkan diri. Mengungsi di area yang jauh dari kata patut, sehari-duahari-sebulan-bahkan hingga bertahun seperti yang dialami oleh pengungsi bencana letusan Gunung Sinabung (Sinabung meletus sejak September 2013 hingga hari ini).
Bencana benar-benar membawa duka, bencana menyongsong kesulitan, bencana menghamparkan kesedihan hingga ke seluruh pelosok negeri. Namun tak selamanya bencana ialah keburukan. Dibalik bencana pasti ada hikmah dan pelajaran.
Puji Syukur, warga negeri ini nampaknya tak lagi pesimis dalam menyikapi bencana dan kesulitan. Beragam Ragam optimisme kemanusiaan dikala ini tengah menjadi trending topic yang gencar dipromosikan dimana-mana. Kolaborasi kemanusiaan bukan lagi menjadi sesuatu yang sulit di capai. Saat Ini Ini, warga Indonesia makin percaya diri membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih optimis mampu merangkai sel-sel kemanusiaan jadi satu kemampuan positif.
Tengok saja bagaimana berita pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh. Tak butuh disaat lama kisah Rohingya di Aceh cepat menjadi viral, menularkan “virus” empati dan simpati kepada siapapun orang. Imbasnya, berbondong bantuan kemanusiaan menjalar ke Aceh.
Namun sangat disayangkan, empati yang muncul tak teredukasi dan terarahkan bersama baik. Makin lama, makin menumpuk. Tak terkontrol. Tak terkoordinasi. Tak cocok dengan kebutuhan di lapangan.
Permasalahan lebih kurang empati dan kemanusiaan seperti ini memang lah lah kelihatan sudah di luar batas kewajaran. Seluruh pihak ingin merasa berperan dalam menopang mengurangi duka saudara-saudara yang tertimpa musibah bencana. Akibatnya justru beraneka ragam macam jenis bantuan yang disalurkan tak pas dgn urgensi yang dibutuhkan di ruangan.
Koordinasi kemanusiaan nyata-nyatanya memang lah lah memiliki peranan mutlak. Melalui wadah kemanusiaan yang terkoordinir dan profesional, bantuan yang disalurkan akan lebih menyasar kepada kepentingan-kepentingan yang memang lah dibutuhkan.
Jikalau terjadi tepat dengan koordinasi yang baik, tidak mau ada lagi bantuan berupa ratusan kardus mi instan, atau mungkin ratusan lembar popok bayi yang ditumpuk begitu saja bagi pengungsi longsoran tanah, padahal mereka nyata-nyatanya hanya membutuhkan bantuan genteng dan bahan bangunan utk membangun kembali hunian yang hancur.
So, sejak mulai sejak hari ini mencoba utk bersama menelisik kembali ke dalam hati, sejauh mana niatan dan perbuatan kemanusiaan yang kita gulirkan bisa menghapus duka mereka? Cobalah untuk buat lebih peka dan solutif dalam berikhtiar empati dan simpati yang paling baik.
Apalagi di tengah momen Ramadhan kali ini, menjadi momentum terindah buat menyantuni dan menyelematkan saudara muslimin yang membutuhkan bantuan di seluruhnya penjuru dunia. Bersama kita dapat mengusahakan bantuan terbaik yang sesuai guna dalam bentuk pangan, sandang, hunian, pendidikan juga layanan kesehatan bagi saudara-saudara kita yang membutuhkan.
Derita mereka ialah duka kita. Hapus duka mereka akan bahagiakan akhirat kita. Mari Kita menangkan Ramadhan dengan indahkan persaudaraan.
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahakan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah SWT melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat” (Hadits riwayat Abu Hurairah)
(CAL)
0 Komentar