Sembilan tahun lalu, bencana lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur mengejutkan seluruh pihak. Muntahan sekian banyak ratus ribu kubik lumpur panas yang mengalir deras setiap jamnya itu seketika memunculkan penderitaan berkepanjangan. Bermacam Macam pihak pula memberikan analisisnya, ada yang asal berbicara mengaitkannya dengan isu mistis tak masuk akal, ada pun para ahli yang cepat beranjak menuju ke lokasi kejadian.
Di ketika yang sama, PT Lapindo Brantas juga sebagai pelaku penting pengeboran yang berujung pada muncratnya lumpur panas tak ada henti pun tak mampu berbuat banyak. Pindai rugi terus mencekik, Pemerintah pun nampak malu untuk tegas memikirkan nasib merubah rugi warga penduduk yang terdampak bencana semburan lumpur.
saat ini, sudah lewat 9 thn bencana itu bermula, selama sembilan thn terakhir, masyarakat mempercayai bahwa Studi yang dipimpin oleh Stephen Miller di Universitas Bonn, Jerman merupakan jawaban terbaik untuk menebak mengapa semburan lumpur terjadi. Stephen Miller dalam simpulan risetnya menyatakan seandainya lumpur Sidoarjo dipicu oleh gempa bumi terhadap 6,3 skala Richter yang melanda Yogyakarta dua hari pada awal mulanya, 27 Mei 2006, yang terletak 250 kilometer jauhnya dari Sidoarjo.
Meski jarak kejadian kedua peristiwa itu mencapai 250 km, bentuk dan struktur formasi batuan di Sidoarjo memiliki karaketistik mengamplifikasi dan memfokuskan gelombang seismik dari Yogyakarta.
Sehingga mencairkan sumber lumpur dan menyebabkan tumpahan ke dalam patahan yang terkoneksi dengan sistem hydrothermal yang amat sangat dalam. Tekanan panas itulah yang menyebabkan terjadinya luapan lumpur.
Namun ternyata, setelah 9 th bencana terjadi dan saat ini masih menyemburkan ribuan kubik lumpur tiap jamnya, terungkap sebuah teori ilmiah baru menyangkut asal mula semburan lumpur tersebut. Satu Buah tim peneliti dari Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang menulis penelitiannya dalam jurnal Nature Geosciences menyatakan bencana tersebut muncul dikarenakan ada kesalahan eksplorasi gas yang dilakukan oleh PT Lapindo, bukan dikarenakan gempa. Mark Tingay, salah satu penulis riset tersebut menegaskan bahwa semburan lumpur Lapindo murni akibat kesalahan prosedur yang dilakukan karena kelalaian manusia, dalam faktor ini PT Lapindo Brantas.
Menurut Tingay pencairan sumber lumpur selalu dikaitkan bersama pelepasan gas yang luas, dan pelepasan gas agung ini yang selalu dipertentangkan telah menunjang lumpur mengalir ke atas dan menyembur di permukaan.
Tetapi Tingay melihat bahwa tiada pelepasan gas setelah terjadi gempa di Yogyakarta pada 2006 silam.
Untuk melihat kandungan gas dari formasi batuan di bawah semburan, tim Tingay mengandalkan pada pengukuran sumur pengeboran Lapindo Brantas, di mana catatan rinci dari konsentrasi gas dan komposisi tersimpan selama pengeboran dilakukan.
Simpulan tersebut makin menyudutkan PT Lapindo Brantas serta yang merupakan penanggung jawab utama yang menyebabkan bencana semburan lumpur tak dgn henti. kini, bencana lumpur Lapindo telah menghancurkan sekian banyak ratus desa, pabrik, toko, jalan raya, bahkan hingga rel kereta api aktif milik PT KAI. Sedikitnya ratusan meregang nyawa dan 40.000 orang telah minggat dgn kiat terpaksa dan membangun rumah di ruang lain akibat rumah, lahan, dan kehidupannya di wilayah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur terendam lumpur.
Lebih dari 6,5 kilometer persegi kawasan Sidoarjo telah ditenggelamkan oleh 40 lubang lumpur, dengan kerugian ditaksir lebih dari US$ 2,7 miliar. Untuk mengatasinya, Pemerintah Indonesia telah membuat tanggul sepanjang 20 km dari tanggul bersama ketinggian hingga 10 meter. Tanggul raksasa itu dibuat untuk membendung semburan lumpur yang konsisten deras mengalir sebanyak 30.000 sampai 60.000 meter kubik per hari.(CAL)
0 Komentar