Juli, tanggal tujuh belas, th dua ribu lima belas. Bertepatan bersama hri kemenangan, hri yg paling dinanti oleh beberapa ratus juta muslim di Indonesia, 1 Syawal 1436 H. Jumat pagi itu, 200 juta lebih warga muslim di negara ini sedang khidmat laksanakan shalat idul fitri. Mengucap takbir dengan dalam semangat yg suci & InsyaAllah hati yg murni, Tapi kedamaian itu seketika terusik. Sekian Banyak menit usai shalat idul fitri didirikan, alat nasional ramai memberitakan menyangkut narasi sedih.
Narasi menyangkut solidaritas & hak-hak kemanusiaan yg ternodai. Narasi itu berasal dari segi timur Indonesia, wilayah yg barangkali sebelum kejadian ini tidak sempat terdengar sama sekali oleh jutaan muslim Indonesia yang lain. Kisah itu berasal dari Kab Tolikara, Papua.
Satu garis simpulan yg diberitakan alat diwaktu itu : Jumlahnya bangunan rusak & dibakar termasuk juga satu masjid, perbuatan pembakaran berlangsung serasi dikala shalat idul fitri sedang didirikan oleh umat muslim Tolikara.
Narasi yg amat sangat disesalkan itupun melesat bak derasnya arus Laut Pasifik, melintasi dapur redaksi berbagai fasilitas, baik lokal ataupun nasional. Dibumbui sedemikian rupa maka beralih jadi dua wujud : artikel fakta apa adanya, atau artikel provokatif.
Lantas apa sesungguhnya yg berlangsung di Tolikara? Dengan Cara Apa kronoligis lengkapnya?
Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti sepeti yg dilansir dari page CNN Indonesia, sejarah bermula dari surat edaran mengenai pelarangan bagi umat Islam lakukan solat Idul Fitri. Sesudah ditelusuri, surat edaran tersebut dikeluarkan oleh Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara, Papua.
Surat tersebut berisi menyangkut pemberitahuan terhadap seluruhnya umat islam di Tolikara yg ditandatangani oleh pendeta & sekeretarisnya, isinya itu ialah dalam rangka pengerjaan seminar internasional & Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) remaja GIDI. Surat edaran GIDI meminta pada umat islam utk tak mengerahkan & mengundang massa dalam jumlah akbar, lantaran terhadap 13 hingga 19 Juli 2015 ada agenda yg dilakukan mereka di Tolikara, Papua.
Sebab merasa surat edaran yg dikeluarkan GIDI di Tolikara bermasalah, Kapolres laksanakan komunikasi bersama Bupati Tolikara, Usman Wanimbo & menyepakati buat mencabut & tak memungkinkan surat edaran tersebut diberlakukan. Dari keterangan bupati, Kapolres menghubungi tokoh Islam disana buat mempersilakan umat islam laksanakan solat maksimal sampai pukul 08.00 WIT. Kelak Polri & Tentara Nasional Indonesia (TNI) bakal mengamankannya.
Tapi, tak lama solat Idul Fitri dilakukan Jumat (17/7) pagi, sebanyak massa mendatangi ruang solat & meminta umat muslim utk menghentikan aktivitasnya. Kapolres yg berada di tempat pernah melaksanakan negosiasi bersama massa. Bakal tapi, sebab banyaknya makin bertambah & mulai sejak memanas, polisi terpaksa menembakkan peluru ke atas utk meredam situasi.
Kapolres & sekian banyak stafnya pula serentak berinisiatif melaksanakan negosiasi. Nyatanya massa semakin tidak sedikit, negosiasi tidak berhasil, ada yg melempar, polisi memberi tembakan peringatan biar bubar. Namun malah berlangsung perlawanan Pegawai & melempari jemaah.
Sampai hasilnya Polisi membawa aksi utk lakukan penembakan ke bawah, ke ruang dibawah lutut, 12 korban umumnya tertembak di kaki, & satu kena pinggul & hasilnya wafat. Sesudah penembakan tersebut, massa yg semakin beringas justru malah menyulut api & membakar kios. Apinya pula merembet kemana-mana, membakar habis sedikitnya 60 kios & 1 masjid.
Ketua Forum Kerukunan Antar-Umat Beragama di Papua, Lipiyus Biniiluk seperti yg dilansir dari Kompas menurutukan, insiden Tolikara yg berlangsung sekian banyak saat dulu berlangsung sebenarnya disebabkan lantaran persoalan komunikasi yg tidak berlangsung. Sama sekali bukan dikarenakan ada pihak luar, pihak asing lebih-lebih pihak Yahudi yg ikut campur.(CAL)
0 Komentar