Catatan sejarah lampau membuktikan bahwa Ibukota pernah terguncang hebat akibat gempa bumi berskala masif yang terjadi ratusan tahun lalu. Sir Thomas Stamford Raffles dalam catatan sejarahnya bertajukHistory of Javapernah menuliskan bahwa di tanggal 4-5 Januari 1699, gempa besar melanda selatan Jawa Barat akibat bencana letusan Gunung Salak, dampaknya masif. Getaran terasa sangat kuat di wilayah Batavia, Jakarta tua kala itu. Raffles bercerita bahwa gempa 1699 membuncahkan lumpur dari dalam perut bumi, menutup aliran sungai besar di Batavia, dan menyebabkan kondisi lingkungan yang hancur lebur di Ibukota Hindia Belanda.
Bayangkan sebuah getaran gempa dahsyat seperti yang terjadi di patahan Andaman Aceh 2004 silam melanda ibukota? Kerumitan populasi masyarakat Jakarta serta untaian gedung pencakar langit yang berlomba-lomba menjadi bangunan yang paling tinggi di Ibukota semakin menambah seram risiko gempa di Ibukota. Padahal, sudah banyak ilmuwan kebencanaan yang berpendapat bahwa bukanlah gempa dahsyat yang menjadi sumber kematian, tapi konstruksi bangunan yang dibangun tidak dengan kapasitas tahan gempa-lah yang akan menjadi sumber mematikan utama ketika bencana gempa bumi menjelang.
Catatan lain pun menyebutkan bahwa Jakarta pernah diguncang oleh gempa besar lagi pada tahun 1780. Seabad kemudian, Jakarta kembali luluh lantak akibat bencana letusan Gunung Krakatau dan tsunami masif yang dihasilkan oleh letusan Krakatau. Membunuh puluhan ribu jiwa dalam sekian hari.
Sejumlah catatan kebencanaan gempa yang berdampak pada Jakarta tersebut setidaknya menjadi emergency call. Sembilan juta jiwa warga Jakarta tak bisa begitu saja mengabaikan peluang gempa bumi di wilayah Ibukota.
Seperti data yang dikutip penulis dari beragam sumber di ruang maya menyebutkan bahwa Jakarta lebih rentan terancam getaran gempa hasil rambatan patahan dari wilayah selatan Jawa Barat melalui patahan Cimandiri dan Patahan Lembang, ketimbang guncangan gempa yang berasal dari patahan di selat Sunda. Banyak bukti membuktikan bahwa Jakarta dilintasi oleh jalur seismik dari patahan Cimandiri yang membatasi tinggian Tangerang di bagian barat dari Cekungan Ciputat yang bergaris hingga ke Rengasdengklok.
Dr Danny Hilman Natawijaya, seorang pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebutkan bahwa probabilitas kemungkinan gempa yang terjadi di Jakarta meningkat sejak tahun 2002. Pada tahun 2002, kerentanan Jakarta terhadap gempa berada dalam angka 0.15 g (skala gravitasi). Data terakhir pada 2010 menunjukkan kerentanan Jakarta pada angka 0.2 G.
Namun, selain bencana gempa. Rupanya ancaman tsunami pun membayang di kepadatan sembilan juta penduduk Indonesia. Seperti yang telah dipahami sebelumnya, bahwa Selat Sunda merupakan jalur seismik aktif hasil tubrukan lempeng Eurasia dan lempeng Indo Australia. Jika terjadi pelepasan energi sebesar lebih dari 8 skala richter di patahan sekitar Selat Sunda, maka tsunami besar pun akan melanda wilayah Kepulauan Seribu dan Ibukota Jakarta.
Bencana memang mengintai Ibukota, namun nyatanya bencana bukan sebuah hal yang harus ditakutkan. Bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami harus disikapi secara arif, dipikirkan potensi dan risiko yang membayang, dan dicarikan solusi preventif terbaik untuk menekan angka korban jiwa dan kerugian materi.(ijal)
Sumber
0 Komentar