Jika dikaji berdasarkan indeks kesejahteraan penduduk, pasti ribuan kilometer garis terluar di Indonesia yang dihuni oleh penduduk di garis batas masih berada dalam kondisi terluar, tertinggal, dan terbelakang. Kekayaan alam di negeri ini tak menjadi jaminan makmurnya penduduk di wilayah perbatasan.
Kali ini kisah tentang potret kemiskinan penduduk perbatasan hadir dari dua Pulau di ujung barat daya Pulau Sulawesi. Adalah Lingayan dan Lutungan, kedua pulau yang secara geografis terpisah jarak cukup jauh namun berada di gugusan Kepulauan terluar Pulau Sulawesi, tepatnya wilayah Kabupaten Toli Toli, Provinsi Sulawesi Tengah.
Untuk menuju Lingayan dari Toli Toli perlu waktu tiga sampai empat jam perjalanan darat lalu menyeberang laut dalam 20 menit, atau dua jam perjalanan jalur laut dari Pulau Sulawesi. Pulau Lingayan berdekatan dengan Pulau Sipadan-Ligitan, termasuk sebagai pulau terluar Indonesia.
Wajah-wajah kemiskinan serba kekurangan nampak jelas terlihat di raut muka warga Pulau Lingayan dan Lutungan. Mata pencaharian mereka sebagai nelayan kecil jelas tak mampu menutupi tuntutan kehidupan di pulau terpencil. Apalagi harga kebutuhan bahan pokok di garis batas negeri sudah melonjak jauh berkali-kali lipat karena sulitnya akses transportasi.
Kekayaan laut di Pulau Sulawesi pun tak menjamin nelayan sukses membawa ikan dalam jumlah yang besar. Ombak yang besar, teknologi alat pancing yang belum modern hingga gangguan dari para penangkap ikan asing yang bersliweran di sekitar Selat Makassar seringkali membuat para nelayan di Pulau Lingayan dan Lutungan pulang dari laut tanpa membawa ikan hasil tangkapan.
Kemiskinan makin terpotret dalam bentuk rumah warga di Pulau Lingayan dan Lutungan. Rumah panggung seadanya tanpa MCK di dalam rumah. Bencana kekeringan pun makin menambah derita warga. Untuk air minum, warga harus menyeberang ke kota berjarak 3 kilometer atau sekitar 20 menit perjalanan dengan menggunakan perahu ketingting.
Jangan tanya tentang pendidikan di Lingayan dan Lutungan, rata-rata penduduk asli Lingayan dan Lutungan hanya lulusan sekolah dasar, masyarakat yang hanya berjumlah 328 jiwa (95 KK) pun nampak kurang bisa berpacu mengikuti perkembangan zaman. Di Lingayan hanya ada satu gedung sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama yang dibangun tahun 2012.
Kini, tiga ratus lebih warga Lingayan dan Lutungan yang mayoritas beragama Islam hanya bisa berharap pada Allah SWT agar ada bantuan yang bisa mengurai derita mereka cepat berakhir. Apalagi menjelang idul qurban seperti sekarang ini tak pernah ada bantuan daging qurban sama sekali dari kota. Sudah sekian tahun mereka tak merasakan nikmatnya daging sapi qurban atau daging kambing qurban yang disembelih di Lingayan dan Lutungan. Untuk sekadar membeli makanan pokok saja mereka tak mampu, apalagi membeli hewan qurban. (CAL)
0 Komentar