Siapa yang bisa mengingkari begitu kaya dan beragamnya budaya negeri ini? ribuan bahasa, jutaan budaya dan seni yang menghampar dari ujung barat Samudera Hindia hingga Puncak Jaya Wijaya di Papua. Budaya dan kehidupan masyarakat lokal atau kearifan lokal telah tumbuh bersama sejak ribuan tahun lalu.
Terputusnya kearifan lokal seputar mitigasi bencana akan berdampak fatal terhadap kelangsungan hidup ratusan ribu jiwa. Tengok saja bagaimana masyarakat Aceh tercengang dan tak menyangka akan begitu dahsyatnya efek yang ditimbulkan akibat bencana alam tsunami 2004 silam.
Terkait dengan urusan bencana alam, banyak bukti kuat menununjukkan bahwa peradaban masyarakat tradisional di Indonesia telah sejak lama menyadari dan mengenal risiko kebencanaan yang terhampar di Nusantara. Melalui ragam nyanyian, puisi, istilah, dan bermacam bentuk kearifan lokal lain para nenek moyang bangsa ini sudah mewariskan turun temurun upaya pencegahan risiko bencana sejak dini.
Beberapa menit usai bencana gempa mengguncang sisi tenggara Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, alam menunjukkan gejolak berikutnya dengan tanda-tanda berupa surutnya air laut sejauh puluhan meter dari pesisir. Sebagian besar masyarakat Aceh tak mengetahui bahwa fenomena surutnya air laut tersebut berarti laut sedang menyimpan energi besar yang terhisap ke tengah Samudera, dan akan kembali ke pesisir dengan kecepatam dan kekuatan rusak yang luar biasa.
Bencana alam kedua berwujud tsunami tersebut seketika mengagetkan masyarakat Aceh, tak ada yang sigap untuk menyelamatkan diri usai air laut surut, bahkan ratusan warga nampak kembali ke rumah masing-masing di pesisir untuk melihat kondisi harta bendanya. Seketika gelombang air bah yang amat mematikan menerjang ratusan ribu jiwa. Menewaskan lebih dari 180 ribu jiwa masyarakat Aceh.
Statistik jumlah korban tewas di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut sesungguhnya tak akan mematikan apabila warga Aceh tak melupakan dan memutus kearifan lokal dari nenek moyang dahulu. Ketidaktahuan masyarakat Aceh tentang gejala awal tsunami telah berakibat amat fatal. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi sebagian besar penduduk Pulau Simelue.
Bencana alam gempa bumi dahsyat di penghujung 2004 tersebut menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Simelue yang sejak turun temurun hidup persis di atas garis patahan lempeng India, Australia dan, Eurasia telah mengetahui fenomena tsunami. Kearifan lokal masyarakat Simelue mengenal istilah Smong sebagai tsunami. Sejak dahulu kala,Smongada dalam teks sajak, dan nyanyaian tradisional Simelue. Dinyanyikan dan diwariskan hingga generasi sekarang.
Nyatanya, ketika gempa 2004 dan air laut surut secara tiba-tiba, 78.000 populasi masyarakat Pulau Simelue meneriakkanSmong dan bergegas menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, bukit, atau pegunungan. Imbasnya luar biasa, tsunami dahsyat yang menghempas Simelue tak berarti apa-apa. 95 % dari 78.000 populasi Simelue yang tinggal di pesisir laut berhasil menerapkan kearifan lokal Smong. Penduduk Simelue yang tewas akibat tsunami 2004 “hanya” 7 orang. Ajaib! (ijal)
aku cantik aahhh kimociii
BalasHapus